Flickr/Calcutta Rescue (CC BY-NC-ND 2.0-Some Rights Reserved)
Flickr/Calcutta Rescue (CC BY-NC-ND 2.0-Some Rights Reserved)

Melawan Stigma, Menyembuhkan Luka

Bagaimana dukungan keluarga dapat membantu memulihkan kusta?

Dengan mengenakan baju dan topi hitamnya, lelaki itu menggeser letak kursi di samping saya. Dia kemudian duduk dan menyandarkan tubuhnya sembari melepaskan topi dari kepalanya. Lelaki itu tersenyum dan mengatakan dirinya merasa sangat kenyang. Dia baru saja usai menyantap makan malam.

Lelaki itu bernama Machdis Mustafa.

Hari itu, Kamis, 31 Oktober 2024, saya bertemu Machdis, di sebuah pemukiman tepi Kota Makassar. Wajah Machdis tenang, meskipun sesekali dahinya berkerut dan kepalanya menengadah ke atas langit-langit ruangan, ketika mencoba mengingat kembali ingatan 16 tahun lampau, saat dia pertama kali terdiagnosa kusta.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


aTahun 2008, Machdis pertama kali mengetahui dirinya terkena kusta Pausi Basiler (PB) atau dikenal dengan tipe kusta kering. Saat itu, dia bersama ayahnya melakukan pemeriksaan di salah satu pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas). Itu kali ketiga dia mendatangi Puskesmas. Pada kunjungan pertama dan kedua, dia mencoba pergi sendiri, tetapi rasa takut membuatnya batal memeriksakan diri.

“Pertama saya sampai di pintu gerbang saja,” Machdis bercerita. 

“Kedua saya masuk, tapi sampai ambil nomor antrean (saja) tapi tidak jadi (masuk), langsung ka pulang.”

Ketiga kalinya, ayahnya ikut menemani. Tanpa melibatkan Machdis, ayahnya berbicara dengan perawat di ruang pemeriksaan, dan setelahnya Mahdis diberikan obat.

Selama sembilan bulan menjalani pengobatan, Machdis hanya mengetahui penyakit yang dia alami alergi biasa. Setiap kali mendatangi Puskesmas untuk mengambil obat, dia hanya diberitahu obat yang dia konsumsi hanyalah ‘obat alergi’.

Tetapi, Machdis heran, alerginya tidak kunjung sembuh, sementara dia sudah lama mengonsumsi obat itu. Suatu hari, dia melihat kemasan obat yang dia konsumsi dan membaca sebuah tulisan ‘for leprosy’ (untuk kusta). Hati Mahdis terpukul dan remuk.

Mahdis sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Dia terkena syok. Dan inilah yang bikin kesehatannya memburuk dan memicu reaksi berat pada medio 2009.

Tahun berikutnya, pada medio 2010, Machdis memutuskan menjalani pengobatan di Rumah Sakit (RS) Tajuddin Chalid, yang sebelumnya dikenal sebagai Rumah Sakit Regional untuk rujukan kusta di wilayah timur Indonesia. Dia menjalani pengobatan dan sembuh sepenuhnya pada tahun 2012.

Bagi Machdis, sebagai orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK), kesulitan sebenarnya bukan penyakit ini, tetapi respons keluarga dan lingkungan sekitar. 

Ayahnya seorang yang aktif menebar penyuluhan tentang kusta. Ironisnya, kata Machdis “Ayah (orang) yang menyuluh baru anaknya yang terkena,” kata laki-laki berusia 42 tahun itu. “Akhirnya susah diterimalah. Jadinya, support keluarga itu kurang.” (Ayah Machdis telah meninggal)

Bagi Machdis, ini semua tak mudah. Stigma yang ada tidak hanya datang dari keluarga, tetapi juga masyarakat.


Baca: Mereka yang Dibenci tapi Dibutuhkan


Suatu hari, dia memberanikan diri keluar dari rumah sakit untuk membeli kebutuhan di toko kelontong terdekat. Namun, pemilik toko menghindari kontak fisik dengan Machdis. Sebagai gantinya, sang empu toko menggunakan batang sapu yang dia sambungkan dengan ujung pegangan sebuah gayung, kemudian meminta Machdis memasukkan uang ke dalamnya.

“Saking tidak maunya melihat dan bersentuhan dengan saya,” tutur Machdis, dengan tangannya mencoba meragakan adegan memilukan itu.

Pernah juga, kata Machdis, ketika dia pulang ke kampungnya menggunakan mobil rental, dia dikenakan tarif perjalanan yang seharusnya hanya buat satu orang, tetapi biaya tersebut dinaikkan menjadi tiga kali lipat. 

Machdis bilang, meski hanya membutuhkan satu kursi, dia diminta membayar untuk tiga kursi sekaligus karena tidak ada seorang pun yang mau duduk di dekatnya. Bahkan, dia diminta untuk duduk di kursi paling belakang, terpisah dari semua penumpang. 

Machdis tahu itu tidak adil, tetapi dia hanya bisa diam. Machdis sadar, stigma yang melekat pada orang dengan kusta membuat orang lain menjaga jarak, meski itu melukai perasaannya.

“Sampai sekarang tidak bisa saya lupa,” kata Machdis pelan.

Foto: NLR Indonesia

Apa yang dialami oleh Machdis, adalah satu dari banyaknya pengalaman serupa yang dialami oleh orang dengan kusta dan OYPMK. Penanganan kusta di Indonesia tidak hanya melibatkan masalah medis, tetapi juga persoalan kurangnya dukungan sosial akibat stigma yang terus ada.

Berdasarkan Lembar Fakta WHO Tahun 2023, situasi kusta di Indonesia masih menjadi perhatian serius, dengan lebih dari 10.000 kasus baru dilaporkan pada tahun 2019, membuat Indonesia berada di urutan ketiga dengan angka kasus kusta tertinggi di dunia, setelah Brazil dan India.

Lepra atau kusta diklasifikasikan oleh WHO sebagai salah satu dari 20 penyakit tropis terabaikan atau Neglected Tropical Diseases (NTDs). Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang dapat menular melalui kontak erat dan berkepanjangan dengan orang mengalami kusta namun belum menjalani pengobatan, terutama melalui droplet dari hidung atau mulut.

Berdasarkan laporan Profil Kesehatan Indonesia 2023 yang mengacu pada data Direktorat Jenderal (Ditjen) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Tahun 2024, prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 0,63 kasus per 10.000 orang, sementara penemuan kasus baru sebesar 5,2 kasus per 100.000 orang.

Dalam satu dekade terakhir, angka penemuan kasus baru kusta menunjukkan penurunan, tetapi mulai meningkat lagi sejak tahun 2022. Pada tahun 2023, tercatat 14.376 kasus baru kusta, dengan hampir 90% diantaranya merupakan tipe kusta multibasiler (MB).

Di Indonesia, sebuah provinsi dianggap telah mencapai eliminasi kusta jika prevalensinya kurang dari 1 per 10.000 penduduk. Pada tahun 2023, terdapat 27 dari 38 provinsi di Indonesia, telah berhasil mencapai eliminasi kusta.  Di Sulawesi Selatan, meskipun angka prevalensinya masih 0,92, provinsi ini sudah termasuk dalam kategori eliminasi kusta. Namun, hingga kini, masih terdapat 12 provinsi yang belum mencapai eliminasi kusta, yang mayoritas berada di wilayah timur Indonesia.

Sementara itu, bagi Astri Ferdiana, dukungan keluarga dan lingkungan sekitar sangat penting bagi orang dengan kusta. Astri adalah seorang konsultan di Netherlands Leprosy Relief (NLR) Indonesia, sebuah organisasi nirlaba yang fokus pada penanggulangan kusta dan inklusi bagi penyandang disabilitas.

“Dukungan keluarga itu sangat penting, baik secara moral, finansial, maupun instrumental, seperti mengantar untuk berobat,” tutur dokter sekaligus dosen di Fakultas Kesehatan Universitas Mataram itu.

Selain tantangan seperti minimnya dukungan keluarga, Astri mengatakan bahwa proses penerimaan diri pada pasien kusta seringkali memerlukan waktu. Banyak pasien yang baru didiagnosis awalnya mengalami penolakan terhadap kenyataan bahwa mereka mengidap kusta. 

“Kasus yang kita temukan bervariasi. Ada yang benar-benar mendapat dukungan dari keluarganya,” tapi kata Astri, “ada juga pasien yang belum menerima dirinya dengan kusta bahkan menolak untuk dikunjungi.”

Hal serupa juga sempat dialami oleh Rika, seorang guru sekolah dasar berusia 40 tahun, yang juga pernah mengalami kusta. Pada tahun 2010, dia memeriksakan diri ke spesialis kulit di Makassar setelah melihat beberapa bercak di tubuhnya.

“Waktu itu, saya langsung merasa ini kusta karena sudah melihat tanda-tanda pada kakak saya,” kata Rika. Setelah hasil pemeriksaan keluar dan positif, Rika memberanikan diri untuk memberi tahu keluarganya. 

“Keluarga sangat mendukung untuk pemulihan saya,” tapi kata Rika “Malah saya sendiri yang sempat cemas dan merasa tidak menerima.”

Rika didiagnosa mengalami tipe kusta multibasiler (MB). Saat diperiksa, ada sekitar lima bercak putih dan kemerahan di tubuhnya. Ia harus menjalani pengobatan selama dua belas bulan. Selama masa pengobatan, Rika menghadapi pertanyaan dan pandangan dari lingkungan sekitarnya yang tidak memahami penyakit kusta ini. 

Teman-temannya menanyakan tentang perubahan di wajahnya, dan ada pula yang tidak percaya bahwa dia mengidap kusta. Ini bikin banyak orang berpikir bahwa kusta hanya terlihat pada kondisi yang parah. 

“Orang kampung taunya kusta itu yang tangannya sudah puntung, padahal pada saat itu saya masih bercak,” jelas Rika.

Selama masa pengobatan, Rika perlahan menerima diri dan semakin terbuka dengan berbagai informasi soal kusta dan pentingnya deteksi dini. Saat ini, Rika aktif memberikan edukasi tentang kusta di lingkungannya, termasuk di sekolah tempat dia mengajar. 

Alhamdulillah,” kata Rika. “Teman-teman di sekolah menerima saya, dan mereka tidak menghindar karena saya sudah jelaskan bahwa penyakit (saya) ini sudah sembuh dan tidak lagi menular.”

Dukungan keluarga juga didapatkan oleh Uswatun Khasanah, ketika pertama kali terdiagnosis pada usia 14 tahun. Selama masa pengobatan, ibu dan ayahnya menjadi sumber dukungan terbesar bagi dirinya. Uswatun kini berusia 27 tahun.

Mengalami reaksi berat selama pengobatan adalah tantangan bagi Uswa. Pada bulan keenam hingga kedelapan pengobatan, kaki kanannya membengkak diiringi rasa panas menyakitkan, hingga dia tak mampu tuk melangkah. Di wajahnya penuh bentol-bentol, lebam, mati rasa, dan kulitnya yang mengering tampak bersisik. Reaksi ini bikin Uswa harus absen dari sekolah selama tiga pekan. 

Setiap malam, ketika reaksi berat dari kusta datang, ibu Uswa selalu berada di sisinya. Tanpa henti, ibunya mendampingi Uswa selama 24 jam, mengabaikan rasa lelah. Dari wajah ibunya, Uswa tahu ibunya sudah lelah. Bagi Uswa, pengorbanan keluarganya adalah dorongan terkuat untuk bangkit dari keterpurukan.

Tak hanya ibunya, ayahnya, yang tukang becak juga berperan besar bagi Uswa untuk kembali bersekolah. Dengan penuh kesabaran, ayahnya membujuk dan bahkan rela mengantar Uswa ke sekolah menggunakan becaknya.

“Melihat keyakinan dari orang tua yang memberikan dukungan buat kamu sembuh,” tutur Uswa.

Foto: NLR Indonesia

Pada awalnya, Uswa enggan membuka diri tentang kondisinya. Saat itu, bagi Uswa, pengetahuan masyarakat tentang kusta masih sangat kurang, dan lingkungan yang kurang memahami penyakit ini membuatnya memilih bungkam.

Namun, seiring waktu, dia mulai berani berbicara. Titik baliknya saat dia duduk di kelas 2 SMK, sekitar tiga tahun setelah didiagnosis. Di masa itu, dia memberanikan diri untuk terbuka dan mengakui bahwa dirinya pernah mengalami kusta.

Bagi Uswa, perlahan proses ini mengajarkannya bahwa menerima diri dan berani berbicara adalah langkah penting untuk melawan stigma, baik dari dalam diri maupun dari lingkungan sekitar.

Bagi Astri, proses penerimaan diri menjadi tantangan tersendiri bagi beberapa orang dengan kusta atau OYPMK. Namun, dengan adanya informasi yang tepat dari tenaga kesehatan dan dukungan penuh dari keluarga juga masyarakat, mereka bisa mulai menerima kondisi mereka dan melanjutkan proses pemulihan.

Astri menyebut bahwa beberapa OYPMK yang telah berhasil sembuh dan mengatasi kondisi mereka kini aktif memberikan dukungan kepada orang lain, dengan beberapa dari mereka bekerja di organisasi seperti NLR atau membantu sesama OYPMK. 

“Semua OYMPK bisa seperti itu asal bisa percaya diri,” kata Astri. 

“Percaya mereka bahwa bisa sembuh dan keluarga juga perlu mendukung.”

***

Saat saya menemui Machdis, dia kerap mengenang ibunya yang berupaya senantiasa hadir di sisinya, meskipun jarak merentangkan mereka berpuluh-puluh kilometer. Ibu Machdis telah meninggal.

“Hanya mamak dan adik perempuan saya yang benar-benar mendukung,” kata Machdis menatap saya.

“Selebihnya, yang lain itu ada yang cuek, ada yang tidak menerima.”


Editor: Agus Mawan W



A. Nur Ismi

A. Nur Ismi pernah menerima Fellowship Story Grant dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan menulis tentang pemenuhan hak pendidikan bagi anak pengungsi. Saat ini, A. Nur Ismi adalah jurnalis Bollo.id

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Laporan Mendalam

Skip to content