Peringatan: Tulisan ini mengandung kekerasan.
“Baru tadi pagi kejadian,” ujar Rani (24), sembari bernafas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum memulai pembicaraan tentang perlakuan diskriminasi yang dialaminya. Rani (bukan nama sebenarnya), seorang Ibu Rumah Tangga penyintas korban kekerasan kelompok anti toleran beragama di Kendari, yang memberanikan diri menceritakan berbagai kekerasan baik fisik dan non fisik yang dialaminya karena tergabung dalam kelompok minoritas Syiah.
Suatu pagi di awal Januari, ketika selesai memandikan putranya yang masih bayi. Ibu Rani datang menghampiri dan berbicara ke bayi dengan ucapan tak wajar, katanya, jika kelak besar nanti tidak usah ikut pilihan beragama Rani. “Apakah mungkin bayi yang baru saja bisa ucapkan ‘o’ dan ‘a’ paham maksud bujukan itu,” kata Rani. Perlakuan itu menambah beban mental Rani. Ibunya mungkin tidak pernah tahu jika seorang pria yang tidak lain seorang Kepala Rumah Tangga di seberang rumah mereka adalah pelaku kekerasan fisik terhadap anaknya – hanya karena persoalan beda mazhab dalam beragama islam.
Rani memberanikan diri menceritakan trauma fisik dan mental yang dialaminya. Siang hari pada September 2019, Rani berjalan masuk ke dalam salah satu hotel di kawasan jalur by pass Kendari – dia dicegat kerumunan kaum laki-laki berjubah gamis yang memakai potongan celana setinggi betis, dan kaum perempuan memakai hijab yang bercadar – tengah berusaha membubar paksa perayaan Asyura yang belum sempat digelar oleh komunitas Syiah dalam aula pertemuan hotel itu. Asyura merupakan hari keagamaan penganut Syiah yang dilaksanakan setiap 10 Muharram dalam penanggalan Hijriah kalender Islam.
“Kamu Syiah?” kata Rani–menirukan ucapan pria tetangga rumahnya yang tergabung dalam kerumunan itu. Hanya berselang hitungan detik, telapak tangan kanan pria itu mendarat keras di bagian telinga kiri Rani–membuat dirinya kaget–berlari menyelamatkan diri berusaha masuk ke dalam hotel mencari perlindungan. Baru beberapa langkah, bajunya ditarik dari arah belakang sampai-sampai jilbabnya nyaris lepas.
Suara riuh pun menyeruak berulang-ulang meneriakan, “pelacur Syiah … pelacur mut’ah (nikah kontrak) dan sebagainya,” sambil mengarahkan lensa kamera telepon genggam ke dirinya. Dari belakang kerumunan, kayu balok dilemparkan ke arahnya, menyusul teriakan ‘Syiah itu kafir, darahnya halal.’ Kali ini usaha menyelamatkan diri Rani berhasil, masuk dalam hotel berkumpul dengan jamaah lain yang secara teratur keluar perlahan dari hotel.
Rani melihat tidak ada pengamanan hotel yang bertindak mengendalikan situasi main hakim sendiri itu. Kelompok Syiah berpindah tempat jauh dari hotel–melanjutkan peringatan Asyura di rumah salah satu jemaat. Namun saat ceramah singkat sedang berlangsung, tiba-tiba dari arah halaman rumah terdengar lagi suara teriakan “Pelacur Syiah … pelacur mut’ah … darahnya halal … aliran sesat.”
Halaman rumah dipadati sekelompok orang yang penampilannya serupa dengan pembubaran paksa Asyura di hotel, jumlah mereka bertambah. Namun, kali ini ada polisi yang berjaga-jaga mengendalikan situasi. Kata seorang saksi yang saya temui bertempat tinggal tidak jauh dari rumah itu mengatakan banyak warga di sekitar hingga anak-anak remaja terprovokasi dengan ajakan kelompok anti toleran tersebut.
Rani mengaku kecewa dengan upaya mediasi oleh polisi yang menghasilkan kesepakatan siapa yang menyerang duluan akan dipidanakan. Bahkan perwakilan jemaat Syiah disuruh buat surat pernyataan untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan apapun nantinya. Dan selama proses mediasi, mereka yang bagian dari anti toleran menunjuk-nunjuk Rani seraya menukas, “Kamu sudah berapa kali mut’ah?”
Tudingan tanpa bukti itu membuat Rani merasa dilecehkan di hadapan aparat penegak hukum yang hanya memilih diam menyimak. Situasi ini membuat dirinya kebingungan memahami konteks negara Indonesia yang berasaskan Ketuhanan. “Semestinya siapa saja yang mengakui adanya Tuhan harus dilindungi toh,” ujarnya.
Duka dan trauma yang dialami
Di Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, sebutlah Zaenab (35) bergegas merapikan ruang tengah rumahnya yang berantakan, di sana sini tersebar permainan bola-bola kecil berbahan plastik, mobil-mobilan, bedak, minyak telon, tisu basah, dan kering, kardus berisi aneka mainan lainnya, dan keranjang berisi tumpukan pakaian terlipat rapi dalam dua paket kemasan plastik.
Jasa laundry merupakan solusi tepat baginya untuk meringankan beban suami. Saban hari, Zaenab bersama suaminya yang berwiraswasta kompak berbagi peran orang tua merawat tumbuh kembang anak mereka. Ruang ini tidak mendapatkan sinar matahari langsung, tidak ada jendela, hanya diterangi dua bohlam lampu.
Di dinding ruangan itu terpampang rapi satu whiteboard ukuran satu meter persegi, dan tiga poster yang masing- masing seukuran setengah dari whiteboard. Di antaranya, poster kertas berisikan gambar macam-macam binatang ternak, poster kertas bertuliskan abjad—huruf latin, dan bingkai kayu persegi empat berisikan lukisan kain.
Dalam lukisan itu tergambar puncak tragedi Asyura. Dari belakang seorang ksatria Al Husain Bin Ali yang berumur 57 tahun dengan rambut ikal sebahu, bertubuh lunglai dengan kepala tertunduk lemas, rambut ikal sebahu, menunggangi kuda putih di antara tumpukan mayat dan kepungan lautan serdadu bangsa arab berwajah bengis, mengarahkan aneka senjata peperangan; tombak, pedang, dan belati ke tubuhnya yang tertancap banyak anak panah, membuat jubah hijaunya berubah warna menjadi merah darah.
Penganut Syiah mengenang Asyura sebagai peristiwa pembantaian keluarga Al Husein, cucu Nabi Muhammad SAW, beserta 70 orang lebih pengikutnya—diantaranya anal-anak dan para lansia, di padang (pasir) Karbala, Iraq. Sementara keluarga perempuan lainnya mendapat perlakuan kasar dari serdadu-serdadu pasukan Yazid bin Muawiyah, penguasa islam ketika itu di tahun 681 Masehi atau 30 tahun sepeninggal wafatnya Nabi Muhammad membangun periode awal peradaban Islam. Bagi Zaenab, acapkali memandang lukisan itu terbesit dua hal penting yang telah menjadi bagian dari dirinya; duka dan trauma.
Ingatan Zaenab tentang kekerasan kelompok anti toleran terhadap dirinya masih melekat. Pada suatu siang di pertengahan November 2013 lalu, di gedung Aula SMK Darussalam, Makassar, Sulawesi Selatan, masih terinci rapi dalam benaknya. Serinci dia bercerita mengenang detik-detik kematian Al Husain dari pembantaian sebagaimana tertulis dalam pernaskahan kaum Syiah.
“Awalnya baik-baik saja,” ujar Zaenab, menceritakan bagaimana prosesi acara asyura yang dilaksanakan organisasi kemasyarakatan Ahlul Bait Indonesia (ABI) bekerja sama dengan Lembaga Studi Islam dan Keindonesiaan setempat, berjalan lancar. Berselang beberapa jam kemudian, ketika penceramah sedang menyampaikan khutbahnya bertema ‘Dengan semangat Asyura Kita Teladani Jiwa Kepahlawanan Bangsa dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia,” panitia pelaksana kegiatan terlihat resah dan mengumumkan kepada ratusan jemaat bahwa acara rangkaian acara dipercepat.
Sesaat kemudian, para jemaat dan tamu lain yang turut hadir saling berbisik, tersebar rumor bahwa akan ada penyerangan oleh sekelompok orang yang katanya orang Syiah menggelar acara perzinahan dan mempraktikan nikah mut’ah. “Setiap ada acara keagamaan (kami), selalu ada isu seperti itu,” ucap Zaenab.
Padahal acaranya seperti biasa. Menyanyikan lagu Indonesia Raya, mendoakan Indonesia dan pemimpinnya, ceramah, dan seperti bagaimana biasanya acara keagamaan. “Ini lebih nasionalis!” ujarnya.
Baca juga: Fadil Korban Pembunuhan yang Bercita-cita Jadi Tentara
Rangkaian acara selesai berselang dua jam kemudian. Rombongan massa orang tak dikenal berjumlah ratusan orang mendadak masuk ke dalam kompleks SMK Darussalam–berkonvoi menggunakan kendaraan motor roda dua dan mobil.
Sambil memegang benda tajam; parang, samurai, badik, balok, busur/anak panah, dan sumpit Sebagian besar ciri-cirinya menggunakan jubah gamis, memakai sorban, ujung bawah celana setinggi betis. Mereka membawa bendera bertuliskan abjad arab ‘la ilaha illallah’ sambil meneriakan yel-yel Allahu Akbar, dan ada juga yang berteriak saling bersahutan berulang-ulang mengeluarkan umpatan ‘aliran sesat, kafiiir…aliran sesat, kafirrr’.
Peristiwa itu sontak membuat ratusan jemaat yang terdiri dari orang-orang lemah; orang tua, perempuan, ibu hamil, dan anak-anak panik ketakutan memeluk ibunya. Lalu membentuk kelompok-kelompok kecil di bawah perlindungan barikade para jemaat laki-laki, yang selanjutnya dievakuasi hingga aman dari gangguan di luar kompleks SMK Darussalam.
Pada saat yang sama, pawai sekelompok orang tak dikenal mendadak bertindak anarkis melihat proses evakuasi itu. Mereka mengejar–memukul–menganiaya empat laki-laki jemaat Syiah memakai bambu, kayu, potongan besi, dan sekop. Masing-masing korban mengalami luka robek bagian kening, mata kiri memar, dan patah tulang hidung. Di sekitar lokasi kejadian, seorang pelajar perempuan SMK Darussalam yang sedang menyaksikan aksi brutal itu menjadi korban anak busur nyasar yang menancap di telapak kakinya.
Kesaksian Zaenab, rata-rata mereka yang tergabung dalam gerombolan anti toleran menggunakan helm standar. Dan yang tidak memakai helm, menutup wajah menggunakan masker, kain, dan sorban. Beberapa diantaranya tidak lain adalah warga biasa di Kota Makassar, dikenali dari wajahnya. “Wih tetanggaku itu. Preman memang, biasa di sewa- sewa,”kata Zaenab menirukan ulang perkataan sejumlah jemaat yang nyaris tidak percaya.
Aksi kekerasan itu membuat sebagian jemaat Syiah kocar-kacir berusaha menyelamatkan diri. Zaenab bersama seorang rekan jemaat perempuan lainnya yang menuju area parkiran motor, terpisah dari rombongan yang dievakuasi. Zaenab dibonceng rekannya menggunakan motor bebek matic berusaha menerobos massa anti toleran secara perlahan. Namun usaha itu sia-sia, mendadak dihadang puluhan orang.
Tiga perempuan berhijab di antara massa itu terus mencaci maki. Salah satu caciannya meneriakan tuduhan, “oh inikah yang pergi ke situ kawin kontrak, pergi berzinah.”
Situasi itu membuat dia gemetar ketakutan, lalu menurunkan pelindung wajah helmnya. “Kita takut kontak mata dengan mereka. Jangan sampai memicu (kemarahan)”, ujarnya.
Tiba-tiba jilbab Zaenab yang menutupi sebagian badannya ditarik paksa dari arah belakang hingga sobek, membuat tubuhnya hilang keseimbangan sesaat, nyaris terjatuh, ketika para lelaki penghadang yang mengenakan jubah gamis memegang balok kayu dan tombak mendekat–mengerubungi. Mereka tidak berhenti meneriakan ‘Allahuakbar’ dibalik setiap tindakan.
Praakkk…helm Zaenab bergetar hebat dipukul benda padat dari belakang, tertunduk menangis.
Setiap kali Zaenab menurunkan penutup wajah helm berusaha menyembunyikan wajahnya, massa juga berulang kali menggunakan balok kayu mengangkat paksa penutup helm itu.
Sebagian lain sigap mengarahkan kamera ponsel ke wajah Zaenab, sebagian lain menginstruksikan “tandai mukanya…tandai mukanya,” secara berulang-ulang, membuat ia terdiam shock/membeku di atas motor. Terbesit dalam benaknya kalimat mengapa mereka tega sebengis ini, “Begini kah ajaran Rasul?” Zaenab spontan meneriakan ucapan jika Rasul tidak pernah mengajarkan perilaku seperti ini, berlaku kasar kepada perempuan.
Namun usaha membela diri itu sia-sia, terbendung dengan semua makian yang dilontarkan massa, bahkan mengatakan kami pelacur. Katanya, pengeroyokan itu berlangsung cepat, tapi Zaenab merasa waktu tidak berjalan ketika terjebak dalam kerumunan yang penuh intimidasi itu.
“Saya trauma sampai sekarang. Dikeroyok, dikata-katai, ditarik jilbabku, dan dipukul pentungan kayu balok. Kalau saya bergerak, bisa-bisa muka ku kena balok,” ucap Zaenab dengan wajah murung tertunduk, sambil menghela nafas panjang.
Rupanya, perlakuan kasar belum berakhir. Selepas selamat keluar dari kerumunan massa yang menyesaki pintu masuk SMK Darussalam, beberapa motor yang dikendari pengendara berbaju gamis mengejar sambil berteriak-teriak ‘tandai mukanya…tandai mukanya !!!’. Aksi kejar-kejaran berakhir ketika motor yang dikemudikan rekan Zaenab menyelip di antara kemacetan jalan, sore hari.
“Saya tidak tahu bagaimana Syiah bisa dikatakan bukan Islam,” ujar Zaenab yang ditemani suaminya saat bercerita. Dia menjelaskan bahwa mereka (Syiah) bertuhankan Allah, menabikan Muhammad, berkitabsucikan Al Quran, dan shalat lima waktu dalam sehari.
Zaenab mengaku, pasca peristiwa itu–dia berjalan menjauh ketika berpapasan dengan orang-orang berpenampilan agamis dengan celana setinggi betis. Meskipun mereka orang baik, katanya. “Selalu di pikiran (saya), kalian tidak toleran sama kami,” ujarnya. Dia juga mengutarakan pendapatnya jika kemanusiaan harus dihargai secara universal, apapun agamanya.
Begitu juga dengan rasa takut yang dialami Rani. ”Pokoknya setiap orang yang berpenampilan seperti itu saya anggap mereka sama,” ujarnya. “Saya saja sendiri baru diterima di keluarga,” ucap Rani, setelah bertahun-tahun lamanya didiskriminasi, dianggap berbeda. Dia pernah diusir dari rumah saat ketahuan berpindah mazhab dari Sunni ke Syiah. Pernikahannya dengan sesama pemeluk Syiah sempat tidak disetujui ayah-ibunya.
Di dunia pendidikan, proses penyusunan skripsi di Universitas Halu Oleo (UHO) sempat dihambat oleh dosen pembimbing, “biasanya itu orang konsultasi di saya tujuh kali kalau beda keyakinan,” ucap Rani menirukan ulang perkataan dosen itu kepadanya. Rani kerap mendapat ancaman pembunuhan orang tak dikenal yang diterima melalui pesan singkat di media sosial. Ancaman-ancaman itu dia hapus agar tidak menimbulkan rasa cemas.
Dia menyodorkan telepon genggam miliknya ke hadapan saya, memperlihatkan contoh komentar singkat anti toleran di beranda akun facebooknya, “S y!4 H bangs4t bin ses4t. S y! 4H bukan isl@m. Agama ses4t ini dilarang di Indonesia,” tulis salah satu akun anonim bernama ‘Abi Utha’ yang menulis. Dari semua kejadian itu, Rani mengkhawatirkan nasib anaknya kelak akan didiskriminasi/dibenci lantaran ketahuan anak dari pasangan suami-istri Syiah.
Bagaimana tidak, orang-orang terdekat saja semisal ibu kandungnya yang menurut Rani sudah terpapar paham anti toleran, tak henti-henti menyerang psikisnya. Rani menirukan ulang ucapan lembut ibunya yang sering diulang-ulang ke anaknya yang masih bayi, “Kamu jangan ikut ibu kamu, nanti masuk neraka.”
Meski demikian, Rani mengaku tetap mendahulukan mereka (orang tua) di atas apapun. Tetapi jika sekali lagi dia dipaksa untuk memilih keyakinan atau orang tua, “Saya memilih pergi (bersama suami),” demi kesehatan mental anak.