Oleh Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures, CC BY-SA 3.0
Oleh Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures, CC BY-SA 3.0

Menyusuri Kesunyian Sejarah: Tentang Pertemuan dan Pelayaran Orang Makassar di Australia

Umumnya para pelaut dari Makassar menilik kawasan itu sebagai wilayah tangkap strategis untuk beragam aneka sumber daya laut.

Sejarah peradaban dunia dihiasi oleh gegap gempita penemuan benua baru. Berangkat dari semangat mengeksplorasi dan ilmu pengetahuan. Layar demi layar terkembang menerjang arus dan ombak yang ganas di samudera tak bernama. Tidak sedikit kapal karam di tengah penjelajahan. Para pelaut dari Eropa mesti bertaruh kepada segala hal, tanpa terkecuali, kendati pun itu nyawa mereka.

Ratusan tahun segmen sejarah ini berlangsung, rupa-rupa penemuan menarik muncul dan turut memantik perkembangan—atau mungkin revolusi?—di berbagai sektor kehidupan masyarakat manusia.  Namun, penemuan atas benua baru berangsur berhenti tatkala James Cook[1] mendarat di pesisir benua terakhir yang berpenghuni.

Tepatnya ketika kapal HMS Endeavour milik kemaharajaan Britania Raya yang diawakinya menepi di pantai timur, Australia. Perjalanan James Cook memang sedari awal mengemban amanah suci: menemukan daratan baru di Samudra Pasifik dan melakukan beragam misi ilmu pengetahuan di sana.

Pada 26 Agustus 1768, James Cook memulai pelayarannya dari Kota Plymouth di Inggris, lalu menyusuri jalur umum melewati Samudra Atlantik, menyinggahi Pulau Madeira dan Kota Rio De Janeiro. Untuk memasuki Samudra Pasifik, Kapal Cook melalui Tanjung Horn di Chili. Pelayaran makin ke barat membuat James Cook menemukan aneka pulau baru, hingga pada 1770 ia menemui benua Australia, dan setahun sebelumnya bertemu Selandia Baru.[2]

Temuan Cook dalam pelayaran pertamanya mulai tersiar seantero dunia, pasca-kembalinya ia ke Inggris pada tahun 1771. Tidak heran apabila James Cook adalah nama yang mengemuka ketika bertanya tentang siapa penemu benua Australia. Nama pria Inggris itu adalah fakta sejarah. Pengetahuan umum bagi masyarakat dunia. Capaian dan sumbangsih besar mengukuhkan dirinya sebagai pelaut top yang berjasa bagi peradaban.

Setidaknya itulah pengetahuan kita saat ini, yang resmi, yang tersusun rapi di buku-buku dan banyak diamini oleh orang-orang. Cerita tentang bangsa Eropa yang selalu saja menemukan sesuatu yang berguna bagi umat manusia. Namun, jauh sebelum narasi digdaya pelayaran orang Eropa menggema, yang salah satunya terjabarkan melalui petualangan James Cook, para pelaut Makassar[3] nyatanya telah memulai lebih dulu pengembaraan mereka ke benua Australia berpuluh bahkan beratus tahun lamanya.

Jauh sebelum pria Inggris itu beserta awaknya menepi di sebelah timur Australia. Bahkan bukan cuman sekedar menemukan dataran baru, para pelaut Makassar sudah terlebih dahulu menjalin kontak dengan para warga lokal di sana. Melalui aktivitas niaga interaksi tersebut terajut, bukan untuk penaklukan, apalagi penjajahan atas nama macam-macam.

Menangkap Teripang

Campbell Macknight pada tahun 1969 merilis disertasi berjudul “The Macassan: a study of the early trepang industry along the Northern Territory coast”. Dalam disertasinya, sejarawan kawakan itu mengurai konteks sosio-ekonomi yang memungkinkan para pelaut Makassar menempuh jarak ribuan kilometer, menjelajah samudera hingga ke pesisir utara benua Australia.

Umumnya para pelaut dari Makassar menilik kawasan tersebut sebagai wilayah tangkap strategis untuk beragam aneka sumber daya laut. Salah satu produk tangkap bernilai tinggi adalah teripang. Kondisi ini diperkirakan berkelindan dengan tingginya permintaan, salah satu (dan utama) datang dari China. Menurut Campbell Macknight dalam literatur terpisah, teripang sedari dulu telah menjadi komoditas top bagi bangsa China telah berlangsung sejak abad 16 Masehi. [4]

Teripang atau timun laut pada dasarnya memiliki beragam jenis. Sebut saja Teripang Nanas (Thelenota Analas), Teripang Minyak (Actinopyga lecanora), atau Teripang Batu Karang. Catatan yang dikumpulkan oleh Macknight memperkirakan terdapat kurang lebih 19-30 jenis teripang yang dijajakan pada saat itu.[5]  


Baca juga: Dua Tahun Pencekalan Bissu Bone dan Problem Pemajuan Kebudayaan di Sulawesi Selatan


Teripang pada umumnya disajikan melalui hidangan sup, direbus atau digoreng. Selain sebagai hidangan, teripang juga dikenal karena khasiatnya sebagai obat-obatan, wabil khusus untuk urusan menambah libido atau gairah seksual (Aphrodisiac).

Rupa-rupa kegiatan lintas benua ini tentunya banyak mempengaruhi aspek sosio-kultural masyarakat sekitar wilayah ekonomi dimaksud. Pertukaran tidak terjadi antara orang makassar dan bangsa china atau mereka yang turut mengonsumsi teripang. Masyarakat yang mendiami wilayah Australia bagian utara[6] turut serta masuk ke dalam jalinan interaksi sosial-kultural akibat perdagangan transnasional ini.

Tidak terbatas pada praktik ekonomi belaka, relasi antara pelaut Makassar dan bangsa Yolngu terajut secara mendalam, pada beberapa temuan mengarah kepada proses akulturasi dan asimilasi antar dua bangsa tadi. Proses pertukaran khazanah nilai dan norma kedua bangsa begitu terefleksikan melalui temuan fisik maupun perangkat sosial yang masih eksis hingga sekarang. Kekaryaan berupa tembikar, lukisan, kuburan dan wujud fakta sosial seperti bahasa, ragam lagu, upacara, nama, cerita rakyat, hingga tafsiran mimpi menjadi penanda kuat relasi yang telah dirangkai selama ratusan tahun ini.

Relasi antar orang Makassar dan Yolngu dapat dikategorikan cair, proses ini dapat ditemui dalam mobilitas sosial kedua bangsa tersebut. Tidak jarang didapati orang-orang Yolngu di kapan pelaut Makassar ikut melaut, menetap di Kota Makassar, dan bahkan membangun rumah tangga dengan penduduk asli. Saling silang kunjungan tersebut berlangsung dari generasi ke generasi.[7]  

Awal Mula

Para pelaut dari Makassar menggunakan perahu dan memanfaatkan arah angin sebagai tenaga dorong mereka sampai ke Tanah Arnhem, Teluk Carpentaria atau Kimberley, Australia.[8] Ketika berangkat, mereka mengandalkan angin muson barat-laut pada tiap bulan Desember, lalu untuk sekembalinya mereka dari sana, angin pasat yang muncul sekitar Maret atau April setiap tahun akan digunakan.[9] Dengan kata lain, pelaut Makassar mesti berada di tanah orang Yolngu hingga 4 sampai 5 bulan. 


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Lantas sejak kapan?

Sebenarnya terdapat beragam hipotesis melalui riset aneka disiplin ilmu dengan beragam pembuktian dan sumber bervariasi demi menjawab kapan tarik sejarah kedatangan pelaut Makassar di tanah Marege. Riset terkini[10] yang melibatkan pemrosesan penanggalan karbon, memuat pembabakan bersifat kronologis yang kiranya dapat membantu memetakan lini masa pertemuan orang Makassar dan orang Yolngu.

Perjumpaan awal dimulai sejak 1000-1550 Masehi, namun perlu digaris bahawi, identifikasi siapa bangsa yang meninggalkan jejak di sana masih simpang siur, jelasnya itu dilakukan oleh penjelajah berpenutur Austronesia. Hingga dalam kurun tahun 1550 – 1770 para pelaut yang berasal dari kawasan Asia tenggara—termasuk Makassar—secara semi-reguler dengan mencari sumber daya maritim baru (salah satunya teripang), berinteraksi dengan orang-orang Yolngu, dan menjalin niaga. Catatan antro-arkeologis juga meyakini periodisasi ini merupakan titik awal perjumpaan orang-orang Makassar di Marege.

Lambat laun, interaksi dan geliat bisnis makin intens antar wilayah tersebut, sehingga turut merekonfigurasi skema perdagangan yang pada mulanya bersifat mikro kemudian secara bertahap mulai merambah pasar internasional. Para peneliti menamakan periode ini sebagai “The Makassan trepang industry” yang dimulai dari tahun 1750 sampai 1880 Masehi. Kurun waktu ini pula ditemukan dokumentasi tertulis mengenai aktivitas ini.

Dekade-dekade setelahnya pergulatan industri teripang mengalami pasang-surut. Dinamika yang diakibatkan oleh mekanisme pajak dan keberadaan teritori negara modern Australia membuat perahu dari luar mesti berupaya ekstra, tidak sedikit yang mesti memutar haluan dan memutuskan untuk tidak lagi melaut di sana. Puncaknya terjadi pada tahun 1907, sebuah kapal yang dinahkodai Husein Daeng Rangka kembali ke pelabuhan Makassar. Kapal itu sekaligus menjadi simbol berakhirnya untaian sejarah ratusan tahun antara Makassar dan Yolngu.   


[1] James cook turut serta menemukan benua Antartika. Lihat lebih lanjut “James Cook and His Voyages” di laman National Library of Australia, dikutip pada 8 Januari 2024 di https://www.nla.gov.au/collections/guide-selected-collections/james-cook-and-his-voyages.  

[2] James Cook, (Ed Philip Edwards). (2003). The Journals of Captain Cook. London: Penguin Books. Hal. 25

[3] Makasar disini merujuk pada masyarakat penutur bahasa Bugis dan Makassar, dan kerap kali penutur Buton atau daerah sekitar jazirah Sulawesi Selatan.

[4] Campbell Macknight. (2013). “Studying Trepangers” dalam Marshall Clark and Sally K. May (ed.), Macassan History and Heritage: Journeys, Encounters, and Influences.Canberra: Australian University Press. Hal 19 – 40.

[5] Meskipun nama atau jenis teripang kala itu saling tumpang tindih dan mirip satu sama lain, efek perbedaan budaya. Lihat Campbell Macknight. 1969. The Macassan: a study of the early trepang industry along the Northern Territory coast. Disertasi. Australian National University. Hal. 4.

[6] Mereka menamai kelompoknya sebagai Yolngu. Sedangkan orang Makassar menyebut wilayah Australia Utara dengan sebutan Marege. 

[7] Regina Ganter. (2018). “Reconnecting With South-East Asia” dalam Rachel Standfield (ed.), Indigenous Mobilities: Across and Beyond The Antipodes. Canberra: Australian National University Press. Hal 257.

[8] Wilayah tersebut berada di Australia bagian utara dan teridentifikasi sebagai tempat yang banyak dikunjungi oleh pelaut Makassar.

[9] Marshall Clark and Sally K. May (2013). “Understanding the Macassan: A regional approach” dalam Marshall Clark and Sally K. May (ed.), Macassan History and Heritage: Journeys, Encounters, and Influences. Australian National University Press. Hal 1 – 18.

[10] Chris Urwin, John J. Bradley, Ian J. McNiven, Lynette Russell, Lily Yulianti Farid. (2023). “Re-assessing regional chronologies for island southeast Asian voyaging to Aboriginal”. Archeology in Oceania. Vol. 58 : 245–274.

Muh. Akbar

Muh. Akbar, seorang warga biasa yang suka belajar Sosiologi, Politik, dan Sejarah. Bermukim di pinggir Kota Makassar.

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Skip to content